01 October 2009

International Day of Non-Violence

Hari Tanpa Kekerasan akan diperingati setiap tanggal 2 Oktober berdasarkan kelahiran Mahatma Gandhi, salah satu pioner gerakan anti-kekerasan.

Saya yang berniat menjadi peace-maker mau berbagi sedikit ilmu mengenai budaya perdamaian di sini. Sebenarnya tanggal 21 September lalu ditetapkan sebagai Hari Perdamaian Internasional dan Hari Gencatan Senjata Internasional oleh PBB dan rencananya entri ini (entri daur-ulang, sebenarnya :p) diterbitkan pada hari itu, tapi apa boleh buat, di kampung halaman (kalau Balikpapan bisa disebut kampung) nggak ada akses koneksi internet dengan PC.

Apa itu Perdamaian?

Perdamaian sendiri memiliki definisi yang sangat luas, tergantung pada pengalaman dan pribadi masing-masing individu. Definisi perdamaian yang dipakai untuk studi perdamaian saat ini banyak diambil dari definisi Galtung (1950), yaitu mengenai perdamaian positif.
Menurut Galtung, perdamaian yang banyak dipahami sebagai keadaan tanpa peperangan (atau kekerasan langsung) merupakan perdamaian negatif. Perdamaian positif baru tercapai tidak hanya dengan ketiadaan perang, tetapi juga tidak adanya kekerasan tak langsung dan konflik lain.
Definisi perdamaian lain adalah kondisi di mana kebutuhan dasar manusia terpenuhi (kebutuhan seperti kebebasan, keamanan, identitas, dan kesejahteraan)

Non-Kekerasan?

Kekerasan tak langsung adalah bahaya sesungguhnya yang dapat mengancam perdamaian karena kekerasan ini lebih sulit dikenali daripada kekerasan langsung (seperti pemukulan atau penganiayaan fisik). Bentuk-bentuk kekerasan tak langsung seringkali kita jumpai di masyarakat tetapi belum tentu kita mengkategorikannya sebagai kekerasan.

Contohnya:
  1. Melarang ibu bekerja sebagai wanita karir
  2. Pelajaran bahasa Jawa di sekolah–sekolah Jawa, walaupun muridnya dari luar Jawa
  3. Melarang anak laki-laki bermain boneka/anak perempuan bermain mobil-mobilan
  4. Memaksa anak perempuan memakai rok/ baju warna pink
  5. Menempatkan PRT sebagai "budak" tanpa mempedulikan haknya
  6. Menyampaikan joke yang rasis, atau diam/ikut tertawa mendengarnya
  7. Pemberian cap PKI pada tersangka terlibat komunis
  8. Pembatasan lowongan pekerjaan pada syarat-syarat tertentu, misalnya: pengalaman kerja, keadaan fisik tertentu (Jadi ingat dengan UU Perfilman yang mewajibkan semua masyarakat perfilman memiliki tingkat pendidikan yang sesuai dengan job-desknya?)
  9. Birokrasi pemerintah yang mempersulit keturunan Cina
  10. Biaya pendidikan mahal, tak terjangkau kaum miskin
  11. Korupsi/ penyalahgunaan jabatan

Jadi, apakah kalian sudah cukup percaya diri untuk mengatakan bahwa lingkungan kalian sudah bebas dari kekerasan?

Berikut quote dari mbak dk, dosen di kampus (tentunya saya belum terlalu berpengalaman untuk membuat komentar seperti ini)

"Banyak yang percaya bahwa kekerasan itu relatif, tergantung konteks (dan pelakunya). Saya punya dua komentar untuk pernyataan ini. Pertama, statement di atas cenderung membuat orang malas berpikir. Kedua, (karena kemalasan berpikir itu?) banyak sekali fenomena di sekitar kita yang berada di wilayah abu-abu, tidak jelas statusnya kekerasan atau bukan. Nah, di ruang abu-abu inilah kekerasan (baik yang bersifat langsung, struktural, maupun kultural) disemai. Ketidaktegasan itulah yang meng-encourage pelaku untuk melestarikan kekerasan yang dilakukannya. Maukah Anda menjadi rubber stamp bagi keberlangsungan kekerasan?


Mana yang lebih kekerasan: melakukan (act of commission) atau membiarkan (act of omission) kekerasan? Menyampaikan joke yang rasis, atau diam/ikut tertawa mendengarnya, tanpa memprotes? Memukuli maling yang tertangkap basah, atau membiarkan sistem tersebut berlangsung di kampung Anda? Korupsi, atau tidak secara aktif menghambat lubang-lubang korupsi? Jangan lupa, budaya ’diam’, ’tidak mau ikut campur’, dan ’cari aman’ adalah penopang dari sikap dan perilaku kekerasan.


Sensitif terhadap kekerasan, dalam arti mengenali bentuknya, sangat penting. Tetapi, yang jauh lebih penting adalah tidak permisif terhadap segala bentuk kekerasan: tidak melakukannya, pun tidak membiarkannya. "

What Should I Do?


Saya mendapat beberapa cara untuk memasyarakatkan budaya damai ^^', yang seluruhnya dimulai dari DIRI SENDIRI
IMHO:
1. Jaga lingkunganmu, kebersihan dan kenyamanan adalah sebagian daripada kedamaian ^_^
Beri perhatian pada golongan yang biasanya terpinggirkan seperti anak jalanan atau para difabel...

2. Jika menemui kekerasan yang berlatar belakang adat istiadat, sebisa mungkin kita memberi penjelasan pada korban (dan atau pelaku) untuk merubah budaya tersebut. Jika kesulitan untuk melakukannya sendirian, lebih baik meminta bantuan pihak lain seperti LSM atau pihak berwajib.

3. Jangan memperkenalkan budaya kekerasan pada anak di bawah umur, misalnya cegah adik kecilmu menonton anime yang banyak mengandung adegan kekerasan atau film action berlabel D / R. Kartun Tom and Jerry, One Piece, Naruto, dan Bleach masuk dalam kategori ini. (Jadi, letakkan 'manga berbahaya' di rak buku yang paling atas kalau ada anak kecil di rumahmu...) Sebisa mungkin lakukan pendampingan pada saat anak kecil menonton tv atau membaca buku.

4. Dengan mengelola keragaman, sehingga kita dapat meminimalisir diskriminasi, sekaligus menghindari konflik yang berdasar identitas, misalnya dengan merubah stereotip dan prasangka terhadap identitas (etnis/agama/ras/bangsa) lain- ingat, tak kenal maka tak sayang; dan dengan mengembangkan pertemanan yang tak memandang SARA (sounds easy but it's hard to do... )

5. Jangan selesaikan kekerasan dengan kekerasan! Percayalah kalau selalu ada jalan negosiasi untuk segala sesuatu. Kata Mahatma Gandhi, "An eye for an eye makes the whole world blind."

peace, love, and comics! \m/

No comments:

Post a Comment